ROMANTISME AKTIVIS HINGGA PEJUANG HEMODIALISIS (Review Buku ‘Cinta di Balik Kelambu Hemodialisis’ oleh Nikmah Yuana)
Pereview: Lailul Muna
Gambar: Buku Cinta di Balik Kelambu Hemodialisis
“Bagiku, yang penting adalah menjaga rohaninya,
menjaga batinnya, menjaga perasaannya, kebahagiaannya. Kupelajari, selama ini
yang memicu gawat darurat bukan karena makanan, melainkan beban pikiran. Selagi
beban pikiran berat, stress akan memicu kambuhnya penyakit” – Nikmah Yuana.
Apa
yang terlintas dalam benak kalian jika membaca seutas kalimat diatas?
Kalimat diatas merupakan salah satu kutipan ibu Nikmah Yuana dalam buku ‘Cinta di Balik Kelambu Hemodialisis’.
Ya, saya kembali lagi untuk sedikit mencurahkan uneg-uneg setelah membaca buku bu Nikmah ini (Agak telat sih reviewnya, bukunya sudah tamat saya baca berbulan-bulan lalu, hehe). Buku ini merupakan buku kedua bu Nikmah yang saya review, sebelumnya saya membuat review untuk buku bu Nikmah Yuana yang pertama (baca: Review Buku Dosen Kenthir Belajar Nyetir).
Semenarik apa buku ini, sih?
Buku ‘Cinta di Balik Kelambu Hemodialisis’ ini secara personal saya menyebutnya sebagai ‘prekuel’ dari buku bu Nikmah, yaitu Dosen Kenthir Belajar Nyetir. Buku yang relatif tipis–254–halaman ini menceritakan awal mula bu Nikmah (penulis) dan pak Teguh (suami bu Nikmah) bertemu, dari keduanya yang sama-sama aktivis hingga ‘petualangan’ bu Nikmah dalam mendampingi pak Teguh yang didera diabetes (kencing manis) sampai terkena gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin.
Sama seperti buku sebelumnya, buku-buku bu Nikmah ini based–on–experience banget alias berdasarkan pengalamannya sendiri, jadi ketika kita memasuki dunia bu Nikmah saat membaca buku mungil–bercoverkan–sosok–pak–Teguh–yang–sedang–menatap–senja ini (cover yang sederhana, tidak ‘wah’, namun memiliki makna yang mendalam), kita bisa hanyut dan seolah ‘merasakan’ apa yang dialami bu Nikmah dalam menjalani dinamika kehidupan yang haru nan memotivasi.
Lebih dalam mengenai buku ini……
Bu Nikmah menuliskan bagaimana beliau bertemu dengan suaminya, lalu bagaimana ‘suka–duka’ beliau merawat pak Teguh yang menderita diabetes sambil merawat anak-anaknya yang masih belia, bagaimana bu Nikmah yang akhirnya menjadi istri siaga bagi pak Teguh yang harus bolak-balik hemodialisis dan rawat inap di rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya. Kisah bu Nikmah ini merupakan kisah yang sangat inspiratif perihal memaknai kehidupan yang selamanya tidak melulu bahagia, tapi bagaimana caranya tetap bisa bahagia walaupun keadaan tidak berkata demikian.
Wanita yang saya sebut sebagai wanita multitasker ini memang bukan seorang perawat maupun dokter, buku ini tidak membahas bagaimana perawatan pasien gagal ginjal secara medis, namun bagaimana bu Nikmah menguraikan kisahnya mendampingi suaminya yang sakit dan mengurus keluarganya, serta menjalani profesinya dengan tabah. Buku ini lebih menekankan pada etika moral dan agama, bagaimana memaknai hidup yang bergantung kepada mesin hemodialisis.
Based
on my personal experience about hemodialisis….
Sebagai mahasiswi keperawatan, saya pernah menjalani praktik klinik (semacam magang) di ruang hemodialisa di suatu rumah sakit selama seminggu, saya perlahan memahami bagaimana perasaan para pejuang hemodialisis yang hidupnya mau tidak mau harus bergantung pada sebuah mesin. Saya menemui sosok-sosok bu Nikmah dan pak Teguh lainnya yang sama-sama berjuang dan tetap tegar dalam mempertahankan hidupnya. Jujur saya merasa sesak. Hamper menitikkan air mata saat terdapat pasien yang tidak sadarkan diri, dan keluarganya yang selalu setia mendampingi sambil melafalkan doa-doa untuk pasien tersebut (hiks, saya ngetik bagian ini sambil sedikit mewek).
Penyakit gagal ginjal dan penyakit degenerative lainnya bukanlah akhir dari segalanya, bu Nikmah mampu menyikapinya dengan baik, walaupun terkadang merasa ingin menyerah dan pasrah, namun beliau kembali bangkit dan menjalani hidupnya dengan tegar. Oh iya, didalam suatu bagian cerita, bu Nikmah menceritakan bahwa pernah salah tindakan dalam merawat suaminya, sehingga semakin memperburuk keadannya. Agaknya setelah kejadian tersebut, bu Nikmah dapat lebih berhati-hati lagi dalam merawat pak Teguh, serta berhati-hati dalam semua hal.
Tulisan bu Nikmah dalam buku ini lagi-lagi dikemas secara ‘ringan’ dengan bacaan yang cocok dibaca untuk siapa saja, dan tentunya mudah dipahami. Alur cerita dalam buku bu Nikmah yang satu ini menggunakan alur maju–mundur, sehingga pembaca dapat lebih menikmati dan semakin terhanyut membaca buku ini.
Pada akhirnya….
Buku ini menampilkan sisi inspiratif, mengharukan, memotivasi, serta romantisme (kesetiaan tiada akhir) bu Nikmah kepada pak Teguh dan keluarganya. Buku ini mengisyaratkan bahwa bagaimana seseorang mampu menari dibawah hujan yang membuat orang-orang kalang-kabut karena tidak bisa beraktivitas, bagaimana memaknai sebuah ujian atau cobaan hidup dari sudut pandang yang positif. Bu Nikmah memang hanya Hamba Allah Swt, yang hanya mampu berikhtiar dan berdoa, sisanya serahkan dan bertawakkal kepada Allah Swt. Bu Nikmah juga memiliki rahasia bagaimana beliau tetap tegar menjalani hidupnya selama ini, apa itu? Silahkan langsung meluncur kesini untuk order bukunya ya!
Mau
tau tanggapan pembaca yang lain seperti apa? Yuk langsung gaskeun kesini!
Dipublish Mei, tapi kami baru membacanya, dan bagus sekali. Sepertinya Anda sangat bisa menikmati buku ini. Seperti salah satu pesan yang ingin disampaikan buku tersebut, tetaplah bersemangat, biarpun hari Anda tidak selalu menyenangkan, tapi itulah kehidupan Anda. Begitulah jalan yang harus Anda lalui, dan yakinlah pasti ada kebahagiaan yang akan Anda temukan, jika Anda bisa menikmatinya.
BalasHapusJangan lupa kunjungi juga:
http://www.edentspublika.com/2019/08/buku-cinta-di-balik-kelambu-hemodialisis.html
Terimakasih ...
HapusTerimakasih atas responnya yg begitu memotivasi saya untuk terus menulis, Edents Publika! Semoga jaya selalu, tabarakallah~
Hapus